Selasa, 25 Februari 2014

Bukan Suami Takut Istri

“Iya, Om mu kan sudah ga kerja lagi sekarang. Pensiunan sih.” Suara dari dalam rumah itu menghentikan asiknya obrolan hangat antara seorang keponakan dan pamannya.
          “Akhirnya beres juga kan nduk.“  Laki-laki itu tersenyum sambil memberikan kunci inggris kepadaku. Sementara aku dengan wajah menyesal menerima beberapa perkakas dan memasukkannya kedalam toolbox untuk memperbaiki mobil sore itu. Tak lama kemudian, aku pamit pulang. Seandainya saja aku tidak mampir ke rumahnya, kata-kata itu tidak akan keluar. Hah Mengutuk diri selalu jadi jawaban menarik dalam situasi macam ini.
          Laki-laki yang dibilang pensiunan itu adalah omku. Yang aku tahu dia adalah seorang pekerja keras, ayah yang mencintai anak-anaknya, paman terbaik dimuka bumi, adik paling pengertian bagi saudara-saudaranya, tetangga yang gemar menolong dilingkungannya, rekan kerja yang luar biasa bagi teman sejawatnya, tapi satu yang dia belum bisa, menjadi sempurna dimata istrinya.   Miris rasanya.
          Dua hari setelah kejadian itu aku kembali melewati rumahnya, melihat bagaimana dia sangat tenang dengan kegiatannya memberi makan ikan dan aku putuskan berhenti sejenak. “ Serius ni om?” sapaku.
“ Eh kamu, sini-sini main sebentar. Lama kita ga cerita-cerita” Jawabnya hangat.
Aku lalu menarik kursi dan dan duduk. “Kalau haus ambil minum sendiri ya. Tahukan tempatnya?“  lanjutnya ramah.
Melihat usaha dia untuk mencairkan suasana, harus aku akui itu kerja keras setelah apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. “Beres Om” jawabku.
          Rambut dikepalanya yang berwarna putih, guratan wajahnya dan juga beberapa urat yang nampak ditanggannya membuat aku terharu. Om ku adalah laki-laki pekerja keras.
“ Gimana rasanya kerja dihutan? Betah? “ Dia bertanya tetang pekerjaan baruku.
“Lumayan Om, ternyata ga seenak yang orang pikir” gerutuku.
“Biasa itu, dijalani saja. Om tahu kalau kamu pasti  bisalah, kan kamu kuat”  Dia menguatkanku. Lalu aku curahkan semua keluh kesahku selama bekerja di lokasi tambang batubara tempatku bekerja. Jawabannya selalu menenangkan, dia bahkan memberikan aku beberapa tips untuk menghadapi rekan kerja dan atasanku.
          Dia lalu duduk disampingku sambil menghela napas panjang, seakan ada beban yang ingin dia lepaskan.
“ Kegiatan apa om sekarang?” Tanyaku.
“ Ini lagi mau bikin kolam ikan satu lagi disamping rumah. Lumayan buat kesibukan.“  Dia menjawab dengan tenang.
“ Tanahnya masih luas lo om, masa cuman kolam ikan aja?” Aku penasaran
Hehehe ini masih awal nduk, nanti diatas kolam bakal ada kangkung. Nah, sisa tanahnya mau ditanam terong, cabe, bayem wah macem-macem deh” Dia menjelaskan dengan rinci semua rencananya dengan antusias.
Rasanya lama sudah aku tidak melihat wajah  gembira itu. Kagum aku dengan semangatnya yang besar walau dia tidak lagi menjadi manager bagi anak buahnya di workshop alat berat.
“Kalau ga gitu, mau ngapain lagi si Om nduk?”  suara itu muncul bersamaan dengan perempuan paruh baya yang membawa minuman untuk kami.
“ Eh tante.. Apa kabar?” aku menyapanya.
“ Ah kalau tante gini-gini aja. Mau ngapain lagi coba? Udah ga bisa kaya dulu lagi” Dia menjawab dengan entengnya. Apa coba maksudnya dengan kalimat itu? Sungguh menyakitkan. Berbicara setajam itu didepan seorang keponakan yang sangat mengidolakan pamannya.
          Omku hanya diam, dia sadar kalau dia adalah topik yang dikeluhkan istrinya. Aku pikir dia akan marah, memendam rasa  dalam tapi tidak. Dia tetap tersenyum padaku. Justru aku  yang mendidih mendengarnya, tidak terima rasanya. Aku lalu melanjutkan percakapan dengan omku.
“ Biar aja ya om, pesiunan. Kan dulu kerja terus.” Belaku
“Tapi hidupkan banyak keperluan, nduk.” Tanteku membela diri.
Aku membalikkan badanku dan berkata “ Kalau orang-orang kayak Om ga pensiun, lalu orang-orang muda seperti aku kerja apa dong tan? “
Perempuan itu diam dan melangkah meninggalkan kami.
          “Ga perlu kamu membela Om seperti itu, kamu kan belum tahu rasanya berumah tangga. Suatu saat kamu akan paham. Tapi, terimakasih”  Laki-laki itu menenangkan aku dalam senyumnya. Sementara aku terkesima melihat sikapnya. Lalu om bercerita bagaimana mereka berdua pernah mengalami  masa-masa sulit dan melewatinya dengan baik berkat dukungan dan pengorbanan dari tante.
         
Semua yang aku ketahui tentang Omku adalah betapa sabar dan cintanya dia kepada istrinya. Aku sering melihat dia dengan senang hati menyapu halaman depan, membuang sampah bahkan membakar sampah. Buatku, itu luar biasa. Pagi hari biasanya dia akan memberi makan ikan sembari kadang mencabut rumput dan lumut disekitarnya. Seakan dalam ada keindahan dipekerjaan remeh temeh yang dia kerjakan.          
          Buat sebagian orang mungkin menganggap dia adalah seorang pengecut karena tidak bisa mengendalikan istrinya. Tapi buatku dia adalah pahlawan, seorang lelaki sejati yang bersedia memberikan seluruh hidupnya untuk keluarga yang dia kasihi. Dia menerima kekurangan pasangannya sama seperti dia menerima dan bangga atas semua kelebihannya. Dia tidak pernah kehilangan tatap cintanya, tutur manisnya, lembut dalam setiap laku yang keluar dalam keseharian. Mungkin cinta itu begitu, selalu melihat hal-hal baik bahkan disaat yang kurang baik sekalipun.  Sekali lagi… Mungkin!