Senin, 14 Juli 2014

Gempa Tadi Menyadarkanku.

Jogja - Sudah dua hari ini kotaku diguyur hujan tanpa henti. Walau hanya gerimis, tapi bertahan dan konstan menyirami. Sampai akhirnya siang tadi kira-kira 12.15 WIB aku terhenyak.

Entah kenapa, siang tadi aku sangat merindukan Keenan. Aku ingin selalu ada disampingnya. Sekedar melihat gerak-geriknya. Aku melihat senyumnya, memperhatikan tangan mungilnya, serta tubuhnya yang kian hari kian besar. Lamunanku terhenti, tiba-tiba kasurku bergetar, kipas angin goyang, bahkan box bayi Keenan bergeser. Ya ALLAH, GEMPA! Tanpa pikir panjang aku raih bayi mungil yang sedang tidur terlelap, aku lari keluar sembari memeluknya erat.

Akhirnya gempa itu berhenti, aku tatap wajah pulas dalam mimpi indahnya. Bayiku, terlelap tidur. Inikah naluri seorang ibu? Detik itu makin kuat tekadku untuk menjaga dia. Akan ku jaga apapun taruhannya. Dia separuh nyawaku, jiwaku yang membuat aku merasakan benar arti "hidup".
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menjadi Ibu dan Diriku Sendiri.

Jogja- Genap dua bulan lima hari aku menjadi seorang ibu. Bahagia nyata benar ada padaku. Malaikat kecilku adalah pelipur lara dan penghilang lelahku. Dia adalah pancaran kebahagiaan yang aku miliki sekarang.

Aku yang sekarang berbeda, kalau dulu bisa seenaknya sendiri maka tidak sekarang. Keberadaan satu semut saja di kamar anakku sudah membuatku geram dan naik pitam. Bagaimana kalau makhluk kecil itu mengganggu putraku? Aku ini adalah bodyguard buat dia.

Lalu aku merasa sepi. Merasa kehilangan diriku sendiri, seperti kehilangan kaki. Aku lemah. Berada di rumah tanpa kegiatan hanya membuatku penat. Lalu aku menyalahkan keadaan. Mengutuk diriku sendiri. Aku kerap merasa tidak berharga, tidak dihargai dan tidak berarti. Inikah aku yang sekarang?

Pada malam hari aku menatap sunyi, melihat malaikat kecilku dan aku bertanya " seegois inikah aku? " Aku ingin berbuat dan melakukan banyak hal. Tapi, dia bergantung sekali padaku. Bukan hanya untuk urusan ASI, tapi memandikan, mengganti pakaiannya, memeluknya ketika dia menangis mencuci bajunya, memastikan dia aman dan nyaman. Itu semua tugasku.

Untuk mengeluh rasanya terlalu, ada laki-laki kecilku yang membutuhkanku. Sementara akan ku nikmati masa ini dulu.

Aku merasa tidak ada satu orangpun yang mengerti aku. Bahkan (kadang) suamiku menjadi orang asing buatku. Bagaimana ini? Apa ini baby blues? Aku ingin berla
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 11 Juli 2014

Laki-laki cilik, pemenang hati.

Jogja - Bahagiaku saat ini tak terukur. Levelnya ada diatas bayanganku. Setiap aku menatap laki-laki cilik ini, hanya haru yang ada didiri.

Melihat ada semut mencoba masuk ke kamarnya sudah membuatku naik darah. Bagaimana dia gelisah dalam tidurnya membuatku merasa bersalah. Bagaimana ini? Perasaan luar biasa yang aku miliki.

Keenan Levi Pratama, jika suatu saat engkau membaca ini. Ketahuilah ibumu mencintaimu sepenuh hati.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 07 Juli 2014

Everybody has to know type

Jogja - Mendadak aku teringat obrolan singkat dengan seorang sahabat tentang kawan baru kami yang... Huumm how to put this delicately ABG. Gitu aja kali ya. Dia sangat publish (bahasa kami saat itu). Sampai akhirnya ada FB, dia update paling lama 10 menit sekali. Artinya tanpa henti ada nama dia di timeline kami. Lalu aku berpikir, kenapa ada orang seperti itu?

Dengan mudahnya dia berbagi informasi tentang diri dan perasaan dia ke orang lain. Padahal artis juga bukan. Lalu aku melihat kalau orang itu mungkin merasa kosong. Sampai dia perlu publish semua tentang dirinya agar mendapat pengakuan dari orang lain. Miris kan?

Biasanya yang model begini, bukan siapa-siapa. Bayangkan saja.. Selesai masak air saja harus jadi status? Walah... Kaya bikin buat se RT aja. Sendirian di rumahpun di update. Belum lagi, soal kondisi dan keadaan rumahnya. Apa perlunya? Jangan-jangan warna celana dalamnya juga diupdate nanti. Walaaah malah ngelantur.

Lalu kenapa orang macam ini muncul? Kesepian kah? Miskin kegiatankah? Minim prestasikah? Atau sedemikian gelapnyakah hidupnya? Apa kita salah satunya? Bisa jadi ^_^
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Belajar(lah) Mengukur Agar Terukur

Jogja - Beberapa hari yang lalu aku sempat menonton ceramah agama di Kompas TV, entah apa namanya. Si ustadz berkata " kalau ada orang berbuat jahat sama kita apa akan kita jahati?" Lalu aku berpikir... Iya!

Aku selalu melakukan itu, an eye for an eye. Malah kadang aku membalas dua atau tiga kali lipat. Aku habisi harga diri dia atau mereka yang telah berbuat salah padaku. Kejam? Buatku tidak. Alibiku saat itu adalah aku lakukan itu agar dia atau mereka berpikir dua kali sebelum menyakiti orang lain atau AKU. Aku selalu percaya, sometimes the good guy have to do bad thing to make things right.

Lalu ustadz tadi meneruskan ceramahnya. "Tidak! Jangan kita jahati orang yang telah menjahati kita". Aku hanya memicingkan mataku. " Kalau kita melakukan itu, maka sama saja. Ibaratnya kita kecurian, lalu kita mencuri ". Langsung aku terhenyak. Iya juga...

Dua hari lalu ada orang menyumpahi keluarga kecilku. Di hati dan kepalaku yang panas saat itu macam-macam muncul dibenakku. Apa hak perempuan sial itu berkata seperti itu? Kenapa harus aku dan anakku masuk dalam sumpah serapahnya? Dia mendoakan hal buruk kepada kami, padahal ibuku dan seluruh keluarga besarku berharap besar kepada aku dan anakku. Sejatinya dia sudah menantang mereka. Dapat tenaga dan ilham dari mana perempuan tidak tahu diri itu? Sejumlah rencana balas dendam sudah ada dikepalaku. Lalu aku teringat ceramah ustadz tadi. Aku urungkan niatku.

Sejenak aku terdiam dengan seluruh isi kepala menjadi satu. Aku menghentikan niat jahatku bukan karena takut dosa, aku melakukannya karena gengsi. Yes, pride! She's not my class.

Kalau aku berharap dia menaruh amarahnya ditakaran yang tepat, makan aku juga sudah melakukan hal yang sama. Bahwa dia dan aku tidak berada di level yang sama. Tolong jangan bicara kalau Tuhan menganggap derajat manusia itu sama di mata-NYA.

Suatu hari Pakdeku pernah berkata " jangan sekali-sekali berurusan dengan orang patah pulpen. Susah... Kalau kita bicara soal nilai, mereka tidak paham. Kita bicara pakai kertas, dia gunakan parang". Patah pulpen disini artinya banyak, bisa pendidikan, pergaulan, tata krama, latar belakang atau bahkan budaya (iya ga sih). Aku tidak hendak berkata kalau aku berada diatas dia. Bukan! Hanya saja kami memang beda kelas. Cara aku menghadapi dia harus elegan, tapi firm.

Buat apa menyimpan marah? Ini adalah jalan Tuhan untuk aku melakukan sortir terhadap orang yang aku perlukan di masa depan kelak. Jadi, seharusnya aku bersyukur. Satu batu sudah disingkirkan untukku oleh waktu.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 01 Juli 2014

A New Chapter ---> Become A Mommy

Jogja - 9 Mei 2014 adalah hari bersejarah buatku, menjadi Ibu.

Orang bilang, " Akhir dari perjalanan panjang". Anehnya, aku justru menilai biasa saja. Sakit, perih, lelah dan segala yang berurusan dengan fisik, aku justru biasa saja.

Silahkan bilang aku aneh. Tapi sejak awal kehamilanku, aku sudah mendoktrin diriku sendiri. Hamil itu hal wajar, umum, normal, biasa dialami perempuan. Memang sudah fitrahnya. Begitulah aku melihat hidup.

Pecah ketuban jam 2 dini hari membuatku berpikir bahwa itu semua terlalu cepat. Bagaimana tidak? Hari Perkiraan Lahir (HPL) adalah 27 Mei! Lebih cepat tiga minggu dari perkiraan. Aku khawatir hal buruk terjadi pada bayiku.
Ternyata tidak, semua normal dan wajar saja. Usia kehamilan 37 Minggu itu sudah cukup atau siap lahir.
Akhirnya jam 18.45 lahirlah putra kami, Keenan Levi Pratama dengan berat 2,8Kg dan panjang 48 Cm. Anak laki-laki yang kami gantungkan harapan besar atas keberlangsungan keluarga kami.
Powered by Telkomsel BlackBerry®