Jumat, 07 Maret 2014

Masa Transisi Hidup Tanpa Rokok



Jogja – Ini adalah hari ketiga aku terkagum-kagum pada suamiku. Keinginan dia untuk berhenti merokok benar-benar menggugah. Aku melihat setiap saat bagaimana dia memerangi rasa candu yang dia rasakan. Itulah enaknya punya suami yang bekerja dari rumah, gerak-geriknya terlihat jelas ^_^

Hari pertama dia lalui dengan susah payah. Pagi itu aku bangun untuke menyiapkan kopi dan the sebagai teman dia bekerja. Tidak ada yang aneh. Bagaimana tidak? Aku masih melihat asbak diatas meja komputer. Satu jam berlalu dan aku mulai heran, aku kok nyaman sekali bernapas. Biasanya aku sudah mengarahkan kipas angin kepintu supaya asap rokok tidak masuk kamar. Baru aku sadar, tidak ada bau rokok tercium.

Kubuang rasa heranku, lalu aku masuk keruang kerja suami. Aku tidak melihat puntung rokok di asbak. Tapi, sifat sok  detektif aku mencari rokok disekelilingnya. Ternyata memang tidak ada satu bungkus rokokpun disana. Aku lihat wajahnya lekat-lekat penuh selidik. Ada yang aneh.
 “ Adaapa sih?” dia merasa terganggu.
Tumben ga ada bau rokok. Ada apa nih? “ Aku balik bertanya.
Dia tersenyum manja dan berkata…
“ Aku memang mau berhenti merokok”

Aku terkejut setengah mati, masih tidak bisa percaya sama sekali dengan apa yang aku dengar barusan.
“ Serius ni, aku lagi usaha. Tapi jangan punya ekspetasi terlalu tinggi ya. Kan ga gampang. “
“ Well, I’m Happy to hear that. But, I believe when I see it”  Jawabku politis ala perempuan yang tidak lagi mau sakit hati.

Aku pernah kecewa dahulu, menemani dia dua kali untuk menghilangkan kecanduan rokok yang dia miliki. Pernah dia minta ditemani untuk digurah dan hipnoteraphy. Hasilnya? Nihil. Dia gagal dan aku menelan kecewa besar. Semga kali ini terbayar manis. Amin.

Dihari itu bukan berarti dia tanpa rokok. Dia minta ijin merokok di jam 8 pagi. Ga tahan katanya. Lalu Siang dua batang dan malam hari satu batang. Kesal? Ah ga juga. Normalnya dia merokok minimal satu bungkus dalam 24 jam. Jadi kalau berkurang 12 batang dihari pertama aku takjub.

Di hari kedua, ada lagi keajaiban baru.
“ Sayang, beliin permen mint ya “ Pintanya pagi hari.
Aku sanggupi dan bertanya dia mau makan apa hari itu. Aku coba manjakan lidahnya, aku tahu dia menderita menahan kecanduan nikotinnya. Benar saja, ternyata permen itu bermanfaat. Kemarin dia merokok satu batang di jam 12 siang dan dua batang lagi di malam hari. Kenapa malam masih merokok dua batang? Karena dia lupa menaruh permennya. Hahaha such a poor boy.

Malam tadi dia berkeluh kesah akan pengalamannya berhenti merokok selama dua hari. Tenggorokannya sakit gara-gara merokok ( mungkin karena dikurangi dengan drastis ya? ). Kasihan juga aku. Lalu dia merasakan bedanya, bahwa dompetnya tidak bergeser ( baca: uangnya utuh). Lalu aku mencontohkan beberapa harga bahan makanan yang setara dengan rokoknya.  Setengah kilo ikan Bandeng kegemarannya, daging ayam setengah kilo, bahkan harga kopi dan tehnya. Dia diam dan melihat perutku dan berkata “ Mending buat beli susu bayi kita nanti ya “ Dia penuh sesal. Aku hanya bisa tersenyum.

Hari ini, hari ketiga dia mengurangi rokoknya. Batuknya makin parah. Bisa jadi itu karena jumlah nikotin yang dia konsumsi menurun drastis. Badannya lemas. Wajarlah. Kali ini dia berhenti dengan keinginannya sendiri, bukan karena aku. Semoga saja berakhir manis, seperti tadi aku bilang. Walau begitu, aku menghargai perjuangannya untuk berhenti merokok. Tugasku sekarang adalah terus memberikan dukungan kepada dia, suamiku sekaligus bapak dari janin yang tengah aku kandung tujuh bulan.

Selasa, 04 Maret 2014

Ada masalah dengan orang single ?

Jogja – Tidak ada yang salah dengan menjadi orang single. Tapi, kenapa masih ada saja yang bertanya “kapan menikah?”. Seakan menjadi single itu adalah keputusan yang salah. Apalagi kalau perempuan itu sudah bekerja dan mandiri, pertanyaan itu muncul seperti virus yang sengaja dibuat untuk menghancurkan harga diri.  Apa perlakuan ini hanya dilakukan oleh mereka yang sudah menikah? Atau hanya orang yang lebih tua (saja)? Ouw tidak….. Aku punya contohnya.

Enam tahun yang lalu bukan masa yang asik buatku. Seorang kenalan perempuan, usianya paruh baya. Setiap kali bertemu denganku, dia akan bertanya “ Jadi kapan ni nikahnya? “ atau  “ Cieh, dah pake cincin ni, jadi kapan? “. Padahal dia sendiri masih single. Oh iya, definisi aku tentang single adalah mereka yang adalah belom menikah. Pacaran? Masuk dalam hitungan single! Balik lagi ke cerita tadi, setiap bertemu dia aku hanya senyum. Saat itu, aku pikir tidak ada gunanya menjawab pertanyaan orang yang memang belum dan bukan apa-apa buatku.Sekarang dia kemana? Setahuku dia masih single.

Lalu ada lagi, seorang sahabat perempuan. Menikah lebih dulu dan sering bertanya kapan menikah. Pertama aku pikir ini adalah bentuk perhatian. Lama-lama aku melihat ada yang tidak sehat. Pertanyaan itu sering diutarakan didepan orang banyak. Perempuan seharusnya saling mendukung, bukan menjatuhkan. Selalu saja aku malas menjawab. Buat apa? Hematku. Sekarang?

Pengalaman menarik justru muncul dari seorang kawan lama. Dua belas tahun sudah kami tidak bertemu. Dia hanya bertanya “ Apa sudah menikah? “. Dengan senang hati aku menjawab “belum”. Lalu dia mendakan semoga aku segera mendapatkan apa yang aku cari dan secepatnya mendapatkan pendamping yang bisa membuat hidupku sempurna. Ini nih…. Begini ini tindakan seorang sahabat sejati. Dia tidak mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan. Dia mendukung, memberi support penuh dan menjadi sandaran tepat sahabatnya.

Lalu apa yang aku lakukan kalau ada saudara, kenalan atau sahabat yang single?  Aku bertanya (jika memungkinkan) lalu meyakinkan dia… “ Awesome people gonna find each others in a certain amount of time  and become awesome couple “