Senin, 07 Juli 2014

Belajar(lah) Mengukur Agar Terukur

Jogja - Beberapa hari yang lalu aku sempat menonton ceramah agama di Kompas TV, entah apa namanya. Si ustadz berkata " kalau ada orang berbuat jahat sama kita apa akan kita jahati?" Lalu aku berpikir... Iya!

Aku selalu melakukan itu, an eye for an eye. Malah kadang aku membalas dua atau tiga kali lipat. Aku habisi harga diri dia atau mereka yang telah berbuat salah padaku. Kejam? Buatku tidak. Alibiku saat itu adalah aku lakukan itu agar dia atau mereka berpikir dua kali sebelum menyakiti orang lain atau AKU. Aku selalu percaya, sometimes the good guy have to do bad thing to make things right.

Lalu ustadz tadi meneruskan ceramahnya. "Tidak! Jangan kita jahati orang yang telah menjahati kita". Aku hanya memicingkan mataku. " Kalau kita melakukan itu, maka sama saja. Ibaratnya kita kecurian, lalu kita mencuri ". Langsung aku terhenyak. Iya juga...

Dua hari lalu ada orang menyumpahi keluarga kecilku. Di hati dan kepalaku yang panas saat itu macam-macam muncul dibenakku. Apa hak perempuan sial itu berkata seperti itu? Kenapa harus aku dan anakku masuk dalam sumpah serapahnya? Dia mendoakan hal buruk kepada kami, padahal ibuku dan seluruh keluarga besarku berharap besar kepada aku dan anakku. Sejatinya dia sudah menantang mereka. Dapat tenaga dan ilham dari mana perempuan tidak tahu diri itu? Sejumlah rencana balas dendam sudah ada dikepalaku. Lalu aku teringat ceramah ustadz tadi. Aku urungkan niatku.

Sejenak aku terdiam dengan seluruh isi kepala menjadi satu. Aku menghentikan niat jahatku bukan karena takut dosa, aku melakukannya karena gengsi. Yes, pride! She's not my class.

Kalau aku berharap dia menaruh amarahnya ditakaran yang tepat, makan aku juga sudah melakukan hal yang sama. Bahwa dia dan aku tidak berada di level yang sama. Tolong jangan bicara kalau Tuhan menganggap derajat manusia itu sama di mata-NYA.

Suatu hari Pakdeku pernah berkata " jangan sekali-sekali berurusan dengan orang patah pulpen. Susah... Kalau kita bicara soal nilai, mereka tidak paham. Kita bicara pakai kertas, dia gunakan parang". Patah pulpen disini artinya banyak, bisa pendidikan, pergaulan, tata krama, latar belakang atau bahkan budaya (iya ga sih). Aku tidak hendak berkata kalau aku berada diatas dia. Bukan! Hanya saja kami memang beda kelas. Cara aku menghadapi dia harus elegan, tapi firm.

Buat apa menyimpan marah? Ini adalah jalan Tuhan untuk aku melakukan sortir terhadap orang yang aku perlukan di masa depan kelak. Jadi, seharusnya aku bersyukur. Satu batu sudah disingkirkan untukku oleh waktu.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar: